Oleh: Anang S. Otoluwa (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo)
Pelari muda ini hampir saja juara Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Half Marathon. Khususnya di kategori pelajar 10 K. Garis finish sudah di depan mata. Tinggal sekitar 50 m di depannya. Sayang, tiba- tiba dia jatuh pingsan. Pandangannya gelap. Ibunya yg sempat membawanya ke posko kesehatan jadi sangat was-was. “Nadinya tidak teraba lagi dok”, begitu kata ibunya ke saya.
Namanya Asyifa Khayyirah Emba. Umur 13 tahun. Sekolah di SMP 3 Luwuk. Dia khusus ke Gorontalo demi ikut UNG Half Marathon ini.
Semangatnya itu yang membuat saya kagum. Bayangkan, dia harus menyeberangi lautan sekitar 10 jam untuk bisa sampai ke Gorontalo. Ditambah lagi perjalanan darat dari Luwuk ke Pagimana sekira satu setengah jam.
Sejak kelas 5 SD Asyifa sudah ikut lomba tingkat pelajar. Beberapa diantaranya di luar daerah seperti Poso dan Morowali. Termasuk mewakili Banggai saat POPDA. Namun, prestasi tertingginya baru meraih juara 3 dan 2.
Karenanya, targetnya ikut UNG Half Marathon ini hanya satu. Juara 1.
Inilah yang membuat Asyifa histeria saat siuman. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia sempat melompat dari bed perawatan, sampai akhirnya muntah-muntah. Kata dokter yang merawatnya, hampir saja dia dirujuk ke rumah sakit.
Saat saya tiba di Posko Kesehatan, saya dapati tim medis sedang sibuk menghiburnya. Kondisinya sudah tenang. Tangisannya tinggal sesenggukan. Tanda-tanda vitalnya sudah normal. Tinggal mentalnya yang belum bisa menerima kenyataan gagal juara.
Begitu melihat saya, ketua tim medis langsung bilang. “Pak Kadis, ini pelari dari Luwuk. Dia gagal masuk finish ‘aaati’. Kalau tidak pingsan, dia bisa juara 1”.
Saya langsung mendekatinya. Ibunya kebetulan mengenal saya. Saat ada kunjungan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Banggai ke Gorontalo, dia ikut dalam rombongan.
Saya lalu menepuk pundak Asyifa. Saya bilang jangan terlalu kecewa. Masih ada kesempatan lain. Saya berjanji kepadanya, kalau ada ‘event’ lari di Gorontalo, saya akan khusus mengundang dia, sekalian menanggung biaya perjalanannya.
Tim medis juga langsung ‘gercep’. Cepat-cepat mereka meminta panitia untuk menyerahkan medali kepada Asyifa. Untuk menghiburnya, saya pun lalu minta berfoto berdua dengannya. Sesama finisher 10 K.
Begitu sampai di rumah, saya cerita pengalaman Asyifa ke istri saya. “Oo, kasian. Harus diapresiasi semangatnya ini. Untuk seorang pelajar seperti dia, mau ikut lomba di luar daerah saja itu sudah luar biasa”, kata istri saya.
Karena itu, buru-buru saya bikin tulisan ini sebagai bentuk apresiasi kepada Asyifa. Siapa tahu Rektor UNG sempat membacanya. Lalu memberi Asyifa beasiswa bebas masuk ke fakultas olah raga atau fakultas apapun pilihannya. Kalau kali ini Asyifa sudah mau meramaikan UNG Half Marathon, saya yakin suatu saat dia akan mengharumkan nama UNG karena prestasi larinya.
Sebentar malam Asyifa akan pulang ke Luwuk. Saya sudah janji mau kasih oleh-oleh untuknya. Istri saya sudah mencarikan satu stel jersey untuk Asyifa, karena ibunya anggota DWP juga. Oleh-oleh yang saya rencanakan adalah buku “Enggak Lari, Enggak Keren”, karya Agus Hermawan. Buku ini sangat penting dibaca untuk menyemangati pelari pemula seperti Asyifa. Saya baru akan mencarinya di Gramedia. Mudah-mudahan sudah tersedia.
Malam nanti, oleh-oleh itu akan saya antarkan langsung ke pelabuhan. Pembaca yang tertarik memberi oleh-oleh, bisa menitipkan ke saya. Hehe.
Saya ingin agar Asyifa tidak trauma. Saya ingin memberi semangat agar dia tidak berhenti mengikuti lomba lari. Seperti Pak Rudy Salahuddin, mantan Pj. Gubernur Gorontalo yang terus menyemangati orang untuk terus berlari. Beliau hadir, dan ikut lari di UNG Half Marathon ini. Padahal minggu lalu beliau baru pulang mengikuti London Marathon 42 K. Atau seperti Menkes yang meski sudah berusia 60 tahun, tapi bisa finish di Boston Marathon.(*)
Sosial Media Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo :
Channel Youtube
Facebook Page
Facebook
Twitter
Instagram