Kota Gorontalo, Dinkesprov – Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mereka juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial, seperti tercantum dalam undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002.
Semua pihak berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dan menjadi generasi berkualitas. Anak bebas gizi buruk termasuk komitmen bersama dunia, termasuk Indonesia. Untuk itu, penanggulangan masalah kekurangan gizi, termasuk gizi buruk, perlu ditingkatkan.
“Diantaranya peningkatan kapasitas petugas Kabupaten/Kota tentang ilmu gizi dalam rangka tata laksana gizi buruk sebagaimana yang kita laksanakan saat ini”, ungkap Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi, Drs. Janni S. Kiai Demak, M. Ec. Dev dalam arahannya, Senin (01/11/2021) di Hotel Maqna Kota Gorontalo.
Dari data yang ada, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi untuk prevalensi wasting di antara 17 negara di wilayah Asia Tenggara, yaitu 12,1%. Selain itu, cakupan penanganan kasus secara rerata di 9 negara di wilayah tersebut hanya mencapai 2%.
Data riskesdas tahun 2018 menunjukkan situasi masalah gizi buruk di provinsi gorontalo dimana balita sangat kurus 3,83% dan balita dengan status gizi kurang (kurus) 10,56%, balita mengalami stunting (pb/u atau tb/u) 32,5 %. Selain itu kondisi gizi ibu hamil juga masih sangat memprihatinkan, dimana sebanyak 24,8 % ibu hamil dalam kondisi kurang energi kronik (KEK).
“Dalam melaksanakan berbagai program penanggulangan gizi buruk dan stunting kita membutuhkan tenaga profesional, terlatih dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan agar menemukan Inovasi-inovasi baru agar masalah gizi terutama di Gorontalo bisa teratasi bahkan dapat dicegah agar tidak ada lagi kasus”, ucap Janni.
Selain itu, Janni menegaskan upaya pengelolaan gizi buruk terintegrasi menekankan pentingnya peran serta aktif keluarga dan masyarakat serta lintas sektor terkait dalam upaya penanggulangan gizi buruk pada balita.
“Tenaga gizi harus bisa berintegrasi dengan lintas program bahkan lintas sektor karena masalah kesehatan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga dengan upaya yang kolektif diharapkan masalah gizi dapat teratasi dan diupayakan dapat dicegah”, pungkasnya.
Kegiatan ini dilaksanakan selama 5 (lima) hari dengan melibatkan nutrisionis, perawat dan bidan dari Kabupaten dan Kota Lokus serta pada pelaksanaannya menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Rilis : MD/ILB
Editor : Nancy Pembengo