Untuk Apa Berlapar-Lapar Puasa?

WhatsApp-Image-2023-04-03-at-15.46.37-e1680508484890.jpg

Dr. dr. Anang S. Otoluwa, MPPM

Ada anak bertanya pada bapaknya: “Untuk berlapar-lapar puasa?” Pertanyaan yang terkenal lewat lagu Bimbo ini bukan mewakili pertanyaan anak-anak saja. Ini berlaku pula bagi kita semua. Terutama ketika menghadapi puasa seperti ini. Meski sesuatu yang sifatnya berupa perintah Tuhan, tapi mempertanyakannya bukan berarti meragukan. Ini bukan merupakan gugatan, tetapi agar perintah itu menjadi sesuatu yang terjangkau oleh akal budi manusia. Ziauddin Sardar dalam buku “Rakayasa Peradaban Islam” berteori, bila ajaran agama hanya diterima begitu saja (taken for granted) maka ajaran itu terancam kehilangan elan vitalnya.

Secara sederhana, puasa dapat diartikan sebagai menahan diri. Menahan diri dari apa? Menahan diri dari makan, minum, seks, merokok, serta berkata-kata tidak senonoh. Kalau kita perhatikan dalam-dalam, aktivitas di atas adalah aktivitas yang paling disukai oleh manusia. Sangat sulit bagi kita untuk meninggalkannya. Siapa yang bisa tahan tidak makan/minum seharian di luar bulan puasa? Sepertinya tidak ada. Demikian halnya seks. Bagaimana dengan merokok? Apalagi. Ini adalah aktivitas yang membuat jutaan manusia kecanduan dan lupa akan mudharatnya. Bagaimana terkait berkata-kata tidak senonoh? Bukankah ini yang lebih sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari ketimbang kata-kata terpuji?

Untuk membuktikan betapa hebatnya dorongan nafsu di atas, pernah dilakukan percobaan pada binatang. Pusat lapar, atau bagian otak yang mengatur rangsangan lapar pada tikus dirusak. Kemudian diamati apakah tikus tadi benar-benar kehilangkan nafsu makannya. Bagaimana hasilnya? Setelah dirusakkan, tikus tadi kehilangan nafsu makannya sebentar saja. Tapi tidak lama kemudian, nafsu itu timbul lagi. Mungkin ini disebabkan oleh karena dorongan untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia maupun hewan, memang terbukti tak bisa hidup tanpa makan.

Percobaan lain mungkin sudah sering Anda dengar. Seekor anjing jantan dikebiri untuk menjinakkan nafsu seksnya yang dianggap berlebihan. Apakah kemudian anjing tadi benar-benar kehilangan libido seksualnya? Ternyata juga tidak. Anjing itu tetap tak tahan ketika melihat anjing betina seksi yang berlarian didekatnya. Terbukti lagi bahwa menahan nafsu seks bukanlah perkara gampang.

Bagaimana dengan upaya berhenti merokok? Kalau yang ini tak usah ditanya. Entah bercanda atau tidak, seorang pria beristri mengatakan kepada saya, lebih baik baginya kematian pasangan hidup daripada kematian rokoknya. Berlebihan? Mungkin ya. Tapi bagi saya ini adalah bukti bahwa merokok itu sangat sulit ditinggalkan.

Karena itu, Sigmund Freud, bapak psikoanalisis itu menggolongkan dorongan di atas sebagai naluri dasar (basic instinct) manusia. Ini berada di alam bawah sadar manusia. Dorongan ini selalu meminta pemenuhan segera. Hanya manusia dengan kesadaran tinggi yang bisa mengendalikannya. Tapi manusia mana yang tetap terjaga keimanannya? Bukannya manusia itu justru tempatnya khilaf dan salah?

Dalam konteks inilah puasa sangat terasa manfaatnya. Puasa adalah instrumen Tuhan untuk menyadarkan ummatnya bahwa manusia pada dasarnya bisa mengendalikan nafsunya, termasuk nafsu-nafsu besar tadi. Tuhan, dengan segala kuasa-Nya sebenarnya dapat mematikan nafsu-nafsu manusia ini sebagaimana yang terjadi pada malaikat. Tapi karena sayang-Nya kepada manusia, nafsu itu sengaja dibiarkan. Tuhan memberikan manusia pilihan bebas untuk bertindak mengatasi nafsunya. Ini adalah karunia kepada manusia, yang menjadikan kehidupan ini menjadi senantiasa dinamis.

Dengan puasa, Tuhan meyakinkan  kita bahwa manusia mampu mengatasi nafsu makan, seks, merokok, dan berkata-kata tidak pantas. Pada hari-hari biasa, hal ini sulit dilakukan. Tapi dengan berpuasa kita bisa melakukannya sebulan penuh. Ini adalah sebuah pengalaman puncak. Pengalaman yang memberikan semangat kepada jiwa manusia untuk siap menghadapi tantangan hidup berikutnya.

Dalam bukunya “Mazhab Ketiga”, Abraham Maslow mengemukakan: kualitas manusia itu bisa diukur dari upaya dia memenuhi kebutuhan hidupnya. Makan, minum,  seks, tergolong paling bawah dalam hirarki kebutuhan manusia. Bila kita masih mementingkan kebutuhan dasar tersebut, maka level kemanusiaan kita masih berada di tingkat bawah. Puncak hirarki itu adalah aktualisasi diri. Untuk mencapianya, memang tak sedikit rintangan ataupun hambatan yang selalu menggoda. Rintangan ini dapat berupa godaan dari kebutuhan pada hirarki di bawahnya.

Di zaman sekarang, kebutuhan makan telah menjelma menjadi uang, seks berubah wujud menjadi wanita penggoda, rasa ingin dihargai melembaga dalam bentuk kekuasaan. Anda bisa buktikan betapa nafsu itu secara canggih menyesuaikan diri  dengan tuntutan zaman.

Maka, alangkah beruntungnya kita yang berpuasa. Berpuasa menjadikan kita percaya diri untuk meninggalkan kebutuhan dasar dan beranjak mencapai derajat manusia tertinggi. Aktualisasi diri, mungkin setara dengan amal kebaikan. Konsistensi melaksanakan perintah Tuhan, dan kemantapan hati meninggalkan segala larangannya adalah bukti ketaqwaan. Inilah yang menjadi puncak tujuan hidup kita. Tetap tegar di jalan yang lurus adalah perjelmaan ketaqwaan yang menjamin kita bisa selamat mencapai tujuan hidup ini. Ketaqwaan adalah buah dari puasa, sebagaimana selalu diingatkan oleh para Ustaz. Ini pula yang dimaksud Bimbo lewat syair lagunya:”Untuk Apa Berlapar-Lapar Puasa”. (*)   

Sosial Media Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo :
Channel Youtube
Facebook Page
Facebook
Twitter
Instagram

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 + 3 =

scroll to top
Bahasa »