Stigma Pengobat TBC Dan Mitos Terengi

WhatsApp-Image-2021-06-04-at-21.17.19.jpeg

FGD bersama masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo

Oleh : Arman Saidi – Junior Epidemiologist

I PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TBC) masih merupakan  masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan laporan Global Tubekulosis WHO tahun 2017, terdapat  10,4 juta  kasus insiden TBC  di dunia (CI  8,8 juta  – 12, juta)  yang setara dengan  120  kasus  per  100.000  penduduk pada tahun 2016. Selanjutnya masih dengan laporan WHO tahun 2018 untuk kasus baru tuberkulosis sebesar 6,4 juta, setara dengan 64% dari insiden tuberkulosis (10,0 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3 juta pasien Lima  negara  dengan  insiden  kasus  tertinggi  yaitu  India, Indonesia,  China,  Philipina,  dan  Pakistan. Sebagian  besar  estimasi  insiden  TBC  pada  tahun  2016  terjadi  di  Kawasan  Asia  Tenggara  (45%) dimana  Indonesia  merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi  di kawasan Afrika.

Perhatian dunia internasional terhadap penanggulangan TBC awalnya terkesan lambat. Pada tahun 1993 WHO telah mencanangkan TBC sebagai Global Emergency. Selanjutnya dalam Annual Report on Global TB Control 2011 WHO menyatakan bahwa terdapat 22 negara yang masuk sebagai high bunden countries TB dan termasuk didalamnya adalah Indonesia. Hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan  dalam  SDGs  (Sustainability  Development  Goals).

Angka prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai beban tuberkulosis yang terbesar diantara 8 negara yaitu India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Philippina (6%), Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%). Eliminasi TBC juga menjadi salah satu dari 3 fokus utama pemerintah di bidang kesehatan selain penurunan stunting dan peningkatan cakupan dan  mutu imunisasi.  Visi  yang  dibangun  terkait  penyakit  ini  yaitu  dunia bebas  dari  tuberkulosis,  nol  kematian,  penyakit,  dan  penderitaan  yang  disebabkan  oleh  TBC (Kemenkes RI, 2018).

Kementerian Kesehatan merilis hasil Survei  Prevalensi  Tuberkulosis  tahun  2013-2014,  prevalensi  TBC  dengan  konfirmasi bakteriologis  di  Indonesia  sebesar  759  per  100.000  penduduk  adalah mereka yang berumur  15  tahun  ke  atas  dan  prevalensi TBC  BTA  positif  sebesar  257  per  100.000  penduduk  pada umur  15  tahun  ke  atas. Sementara itu hasil Riskesdas  2013 menyatakan  semakin  bertambah  usia,  prevalensinya  semakin  tinggi. Kemungkinan  terjadi  re-aktivasi  TBC  dan  durasi  paparan  TBC  lebih  lama  dibandingkan  kelompok  umur di  bawahnya. Sebaliknya,  semakin  tinggi  kuintil  indeks  kepemilikan  (yang  menggambarkan  kemampuan  sosial ekonomi)  semakin  rendah  prevalensi  TBC.

Indikator yang digunakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2015-2019 adalah prevalensi berbasis mikroskopis saja. Hal ini mengakibatkan angkanya lebih rendah dari hasil survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-2014 yang telah menggunakan metode yang lebih sensitif yaitu konfirmasi bakteriologis yang mencakup pemeriksaan mikroskopis, molekuler dan kultur. Target prevalensi tuberkulosis tahun 2017 dalam RPJMN sebesar 262 per 100.000 penduduk dengan capaian sebesar 254 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2018 target sebesar 254 per 100.000 penduduk dengan capaian sebesar 250 per 100.000 penduduk. (Kemenkes, 2018)

Target Renstra pada tahun 2019 prevalensi TBC menjadi 245/100.000 penduduk sementara berdasarkan studi inventor TBC (Global Report TB 2018) menunjukkan insidens TB sebesar 321/100.000 penduduk. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018 menggambarkan persentase Case Detection Rate kasus tuberkulosis pada tahun 2018 sebesar 67,2% dan angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar 52,6%. Sementara Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu  yang apabila dikumpulkan serial,  akan  menggambarkan kecenderungan  (trend)  meningkat atau  menurunnya penemuan  kasus dari  tahun  ke  tahun  di  suatu  wilayah. angka notifikasi semua kasus tuberkulosis per 100.000 penduduk dari tahun 2009-2018. Angka notifikasi semua kasus tuberkulosis pada tahun 2018 sebesar 214 per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 169 per 100.000 penduduk. (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2018).

Masalah TBC lainnya juga adalah angka keberhasilan (succes rate) yaitu dimana jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TBC yang yang  diobati  dan  dilaporkan  yang  angka  ini  merupakan penjumlahan  dari  angka  kesembuhan  semua  kasus  dan  angka  pengobatan  lengkap  semua  kasus. Badan  kesehatan  dunia  menetapkan  standar  keberhasilan  pengobatan  sebesar  85%.  Angka keberhasilan  pada  tahun  2017  sebesar  87,8%  (data  per  21  Mei  2018).

Masalah tersubut juga semakin diperparah dengan adanya kasus resistensi obat (TB RO) yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami kekebalan terhadap OAT yang dikenal dengan TB MDR ( Multidrug Resistant Tuberculosis ) dan XDR TBC  (Extensively Drug Resistant Tuberculosis). TBC Resistan obat dapat mengenai siapa saja, akan tetapi biasanya terjadi pada orang yang tidak menelan obat TBC secara teratur atau seperti yang disarankan oleh petugas keseahtan. Angka penemuan kasus TB RO semakin tahun semakin meningkat. Namun tidak diimbangi dengan angka pengobatan pasien TB RO.

Pada tahun 2017, angka pengobatan pasien TB RO sebesar 59% namun menurun pada tahun 2018 menjadi 51%. Angka keberhasilan pengobatan TB RO rata-rata 50%, sedangkan angka putus berobat/ lost to follow up (LFU) sebesar (~30%). Angka keberhasilan pengobatan pasien TBC menunjukkan penurunan angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis pada tahun 2012 dan 2018 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis sebesar 84,6%. Angka kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85,0% sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90,0%. (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2019)

Sementara itu berdasarkan angka penemuan kasus (CDR) menurut Provinsi pada Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018, Provinsi Gorontalo berada pada urutan ke-6 tertinggi setelah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 70,8%. Angka tersebut meningkat secara signifikan jika melihat laporan CDR Provinsi Gorontalo tahun sebelumnya, yang kemudian meningkat menjadi 73,6% pada tahun 2019 berdasarkan laporan program TBC Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. Untu persentase cure rate berdasarkan laporan program TBC  Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo sejak tahun 2014 – 2018 terakhir menunjukan peningkatan, sebagaimana yang dapat dilihat pada grafik berikut :

Gambar 1.1       :    Grafik presentase cure rate dan success rate selama tahun 2014 sampai dengan tahun 2018 di Provinsi Gorontalo

Sumber : Seksi P2P, Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo

Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo dalam laporan sistim informasi terpadu Tuberkulosis (SITT) online ternyata jumlah kasus TBC dari tahun  ke tahun ada kecenderungan meningkat, pada tahun 2014 sebanyak 349 kasus (44,6 % dari target 783 kasus), meningkat dibandingkan pada tahun 2018 sebanyak 1389 kasus. Sedangkan penderita TBC positif yang ditemukan oleh Rumah Sakit sebesar 232 kasus, untuk kasus TBC Klinis ditemukan sebesar 415 Kasus (Puskesmas dan Rumah Sakit) kasus sehingga angka kesakitan 12,5 Kasus/1000 penduduk.

Dengan demikian Laporan penanggulangan TBC di provinsi Gorontalo sejak tahun 1995 telah menggunakan strategi DOTS, namun karena adanya pemekaran daerah Kabupaten sehingga berpengaruh pada jumlah sarana kesehatan yang menyebabkan penanggulangan penyakit TBC belum mencapai hasil yang optimal. Tahun 2004 angka kesembuhan (curre rate) di kabupaten Gorontalo baru mencapai 61,2 %. Walaupun hasil capaian salah satu puskesmas terbanyak kasus TBC yaitu puskesmas limboto tahun 2014 menunjukkan peningkatan  angka kesembuhan dan angka konversi namun angka lalai berobat masih cukup tinggi, pada fase awal penderita lalai berobat di puskesmas limboto 32,1 %. Demikian juga dengan ketidak taatan penderita memeriksakan sputumnya meningkat dari periode ke periode dan pada akhir pengobatan makin berkurang penderita yang memeriksakan sputumnya (Dikes Kab Gorontalo 2014). Padahal diharapkan pengobatan dengan strategi DOTS dapat memberikan kesembuhan 85 %.

Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini mengalami  hambatan  sehingga tidak memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang disebabkan karena berbagai factor diantaranya rendahnya angka cakupan kasus dan buruknya keteraturan berobat/resistensi semakin tinggi, akses diagnosis dan pengobatan masih terbatas/fasilitas, tingkat pengetahuan masyarakat, factor kepadatan penduduk  dan kemiskinan dan lain-lain.

Untuk meningkatkan pengetahuan penderita TBC perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui  berbagai faktor sosial terutama mengenai stigma dan persepsi yang mempengaruhi masyarakat  terhadap program penanggulangan TBC agar dimasa yang akan datang  diharapkan terjadi peningkatan untuk mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk berobat sekaligus penyembuhan penderita TBC.

II PEMBAHASAN

Keberhasilan pengobatan TBC menjadi salah satu indikator dalam program pencegahan dan pengendali kasus TBC di Masyarakat. Keberhasilan pengobatan bagi penderita TBC menjadi sangat penting untuk menekan kasus TBC resistensi obat yang faktor risiko penularannya sangat tinggi, yang nantinya memberikan dampak buruk terhadap derajat kesehatan di masyarakat. Pengobatan TBC juga terkait erat dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pengobatan TBC yang nantinya akan mempengaruhi kepatuhan berobat dengan variabel lainnya yang saling mempengaruhi.

Riset Pembinaan Kesehatan Daerah (Risbinkesda) pada pertengahan tahun 2020 tentang “Persepsi Dan Stigma Masyarakat, Keluarga Dan Petugas Kesehatan Terhadap Pengobatan TBC Di Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo telah mengungkap fakta yang menarik terkait pengobatan TBC. Riset yang bertujuan mengetahui persepsi dan stigma keluarga, masyarakatdan petugas kesehatan terhadap pengobatan TBC menggunakan metode penelitian kualitatif dengan cross sectional yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan “Rapid Assessment Procedures (RAP)”.

Hasil penelitian Risbinkesda tahun 2020 yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Provinsi Gorontalo diperoleh sebagai berikut :

  1. Sebagian besar keluarga memiliki persepsi yang benar terhadap pengobatan TBC dengan memberikan dukungan, mendampingi dan merawat penderita TBC, meskipun ada beberapa yang masih menggap bahwa TBC hanyalah penyakit batuk biasa sehingga tidak memperhatikan pengobatan pasien TBC.
  2. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Limboto memiliki persepsi yang benar terhadap pengobatan TB. Di beberapa kelurahan ada yang masih menganggap bahawa TBC sebagai penyakit kutukan, penyakit keturunan, penyakit yang menular dari golongan darah yang sama bahkan TBC dapat ditularkan dari ibu hamil ke janin. Sehingganya sebagian kecil masyarakat masih memilih pengobatan tradisional berupa ramuan, herbal dan metode pijat, hingga ada yang menggunakan kotoran kuda yang dikeringkan dan diminumkan kepada penderita TBC. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari Dinas Kesehatan kepada masyarakat terutama yang berada jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan.
  3. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki persepsi yang benar terhadap pengobatan TBC melalui program kegiatan edukasi dan pengawasan minum obat pada penderita TBC.
  4. Masih ditemukan stigma dari keluarga mengenai pengobatan TB, dimana anggota keluarga merasa malu atau minder jika salah satu anggota keluarganya diketahui menderita TBC karena takut dianggap orang susah. Namun kebanyakan sikap/perlakuan keluarga menerima kondisi dan keadaan dari penderita TBC dan merawat serta mendampingi penderti TBC untuk menyelesaikan pengobatan.
  5. Masih ditemukan stigma di masyarakat mengenai pengobatan TBC dimana ditemukan istilah khas daerah untuk melabeli penderita TBC yang disebut “Terengi”. Namun sebagian besar masyarakat menunjukkan sikap/perlakuan yang baik terhadap pengobatan TBC dengan memberi dukungan, motivasi dan mendampingi penderita TBC untuk menyelesaikan pengobatan.
  6. Tidak ditemukan stigma negatif dari petugas kesehatan mengenai pengobatan TBC.

Pada uraian hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa persoalan pengobatan TBC tidak hanya terkait dengan kepatuhan penderita TBC namun juga kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat kepada penderita TBC untuk menjalankan pengobatan secara teratur. Selain itu perlakuan dan sikap keluarga dan masyarkat terhadap pengobatan TBC masih banyak yang mengarah pada stigma negatif. Adanya label terengi kepada penderita TBC semakin menguatkan momok di keluarga dan masyarakat tentang buruknya penderita TBC yang terbungkus dengan mitos-mitos dan takhayul.

Kondisi tersebut juga dipersulit akan adanya faktor sosial budaya, dimana tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dan tradisi di masyarakat yang masih menganggap adanya pengaruh mistis terhadap penderita terengi. Bahkan faktor-faktor tersebut (di Gorontalo ) hampir tidak dapat di bedapan antara masyarakat rular dan masyarakat urban. Selain itu, dalam hal persepsi masyarakat tidak terlalu menunjukkan kesenjangan yang signifikan anatara masyarakat di wilayah terluar maupun terdalam terhadap akses layanan di fasilitas kesehatan.

Yang lebih menggelitik dari penelusuran di lapangan, adanya kontra diksi antara tingkat pendidikan dengan persepsi positif terhadap pengobatan TBC. Dimana ditemukan responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi masih menganggap adanya pengaruh mistis terhadap timbulnya penyakit TBC sehingga dianggap perlu untuk menjalani pengobatan dengan metode-metode mistis.

Namun demikian, dari sekelumit temuan di lapangan tentang pengobataan TBC kemudian perlu juga dilihat pengaruhnya dengan program dan kebijakan yang sudah dilaksanakan selama ini. Jika melihat kebijakan yang telah dibuat sebelumnya kemudian dikaji lagi dengan temuan di lapangan seharusnya dapat diambit benang merahnya. Dimana sudah menjadi tanggung jawab pemerintah baik dari tingkat Pusat hingga ke daerah tentang penyelenggaraan penanggulangan TBC, bahkan dunia Internasional mengoroti tentang penanggulangan TBC di negara-negara terutama yang angka kejadian TBC masih tinggi.

Perlu disyukuri, memang selama ini pemerintah telah menyediakan obat anti tuberkulosis dalam bentuk paket dan di berikan secara cuma-cuma melalui puskesmas untuk penderita TBC. Tetapi juga kita tidak bisa memungkiri bahwa kemudian akan ada kejadian TBC resistentsi obat yang memiliki risiko penularan dan dampak penyakit yang lebih berbahaya. Oleh karena itu pentingnya upaya-upaya preventif dalam bentuk edukasi seperti sosialisasi, penyuluhan, kemitraan dan pendampingan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap penanggulangan TBC. Selain itu adanya strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) serta Program Indonesia Sehat diselenggarakan melalui pendekatan keluarga (PIS-PK) harusnya akan lebih power full dalam upaya-upaya penanggulangan TBC.

Berangkat dari permasalahan penanggulangan TBC yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia serta salah satu perhatian WHO selama lebih dari 2 dekade. Mulai dari penyediaan paket obat anti tuberkulosis secara cuma-cuma sampai dengan strategi DOTS atas rekomendasi WHO  yang diyakini mampu menurunkan angka Prevalensi TB paru karena berkaca dari beberapa negara yang menggunakan strategi DOTS tersebut ternyata berhasil dalam pemberantasan penyakit tuberculosis. Meskipun hanya mengadopsi, efek dari strategi ini secara signifikan berhasil meningkatkan angka kesembuhan / cure rate sampai dengan 80%.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS ini mengalami  hambatan  sehingga tidak memberikan hasil yang maksimal. Diduga ada kecenderungan bahwa TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang disebabkan karena berbagai factor diantaranya rendahnya angka cakupan kasus dan buruknya keteraturan berobat/resistensi semakin tinggi, akses diagnosis dan pengobatan masih terbatas/fasilitas, tingkat pengetahuan masyarakat, factor kepadatan penduduk  dan kemiskinan dan lain-lain. Sehingganya konsep tersebut juga barangkali perlu di sesuaikan dengan sosio-budaya dan faktor-faktor lainnya yang tidak selalu sama dengan negara-negara lain bahkan di tiap daerah pun akan memiliki pengaruh yang berbeda dalam menerapkan strategi DOTS tersebut.

Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa lambatknya penanggulanan TBC juga disebabkan oleh adanya konflik kebijakan baik di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, dan memang sudah pasti selalu ada tidak hanya di sektor kesehatan di sektor launnya juga variabel ini memang sudah jadi sebuah keniscayaan. Dimana selama ini belum optimalnya pelaksanaan program TBC sebagai akibat dari kurangnya komitmen pelaksanaan pelayanan, pengambilan kebijakan dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana. Disamping itu hal-hal teknis yang menjadi pengaruh (yang mungkin saja kecil pengruhnya) belum memadainya tata laksana TBC terutama di fasyankes yang belum menerapkan layanan TBC sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, dan paduan obat yang tidak baku.

Satu hal yang patut diapresiasi (memang masih bersifat subjektif) adalah Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo telah melaksanakan kegiatan upaya pencegahan dan penanggulangan TBC khususnya terkait tatalaksana TBC sesuai standar, pemenuhan sarana prasarana dan kegiatan pemantauan pengobatan. Namun dalam pelaksanaannya perlu strategi yang lebih efektif serta memerlukan perkembangan pengetahuan dalam kemampuan pendampingan teknis pasien dalam pengobatan TBC

III SIMPULAN

Stigma negatif tentang pengobatan TBC terbentuk karena adanya persepsi yang keliru tentang TBC yang dipengaruhi oleh pengetahuan, tingkat pendidikan serta sosio budaya. Hal ini pula yang melahirkan adanya mitos-mitos tentang TBC dan atau sebutan bagi penderita TBC di Gorontalo yaitu terengi. Mitos-mites tersebut juga mempengaruhi pilihan pengobatan di masyarakat. Walau pun sudah ada paket obat anti tuberkulisis secara gratis, tetap saja masih ada yang memilih dengan pengobatan alternatif. Adapun untuk strategi DOTS dan program PIS-PK perlu mempertimbangkan variabel sosio budaya sehingga mampu mencapai target penanggulangan TBC dengan maksimal.

Selain itu adanya konflik dan kesenjangan kebijakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menjadikan penanggulangan TBC belum maksimal. Namun demikian di tingkat pelayanan kesehatan sebagian besar telah memahami tata laksana TBC meskipun masih ada beberapa yang kurang ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai.

Oleh karenanya, ada beberapa point rekomendasi dari hasil penelitian yang saat ini diyakini sebagai solusi dalam permasalahan pengobatan TBC selama ini. Rekomendasi ini pun tidak mutlak untuk di terapkan di daerah lainnya karna setiap daerah tidak selalu sama baik dari segi topografi, demografi sosio budaya dan sebagainya. Selain itu, rekomendasi ini juga hanya bersifat usulan yang barangkali perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam tentang penganggulangan TBC terutama menyangkut permasalahan kepatuhan pengobatan TBC. Berikut point-poit rekomendasi yang diperoleh dari hasil penelitian kami lebih pada peran pemberdayaan, yaitu :

  1. Evaluasi pendataan pasien baik yang sedang menjalani pengobatan dan yang telah selesai pengobatan TBC oleh Petugas TBC di Kabupaten serta pengawasan ketersediaan obat TBC dilakukan secara berkala dan berkesinambungan melalui pencatatan dan pelaporan yang efektif.
  2. Peningkatan konseling pada pasien penderita TBC dan keluarga melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) oleh petugas TBC dilakukan setiap jadwal pasien yang datang mengambil obat di Puskesmas.
  3. Penguatan fungsi kader kesehatan sebagai PMO pasien TBC.
  4. Peningkatan peran serta masyarakat secara konsisten memantau dan mengawasi penderita TBC melalui pembentukan Pos TBC di setiap Kelurahan.

Terakhir untuk rekomendasi kebijakan tidak hanya sampai pada level diskusi dan pembahasan, tetapi diharapkan dapat melahirkan satu kebijakan yang dapat menyentuh langsung ke masyarakat sehingga memberikan dampak yang nyata bagi penanggulangan TBC.

IV DAFTAR PUSTAKA

Dinkes Provinsi Gorontalo, 2019, Laporan Indikator SPM Bidang Kesehatan Provinsi Gorontalo : Gorontalo.

_______________, 2019, Draf sementara Profil Kesehtan Provinsi Gorontalo : Gorontalo.

_______________, 2019, Laporan Dinas Kesehtan Provinsi Gorontalo : Gorontalo.

Kemenkes RI, 2018, Profil Kesehatan Indonesia: Jakarta.

_____________, 2015, Infodatin, Pusat Data Statistik: Jakarta.

_____________, 2015, Survei Tuberkulosis 2013-2014 : Jakarta.

_____________, 2018, Infodatin, Pusat Data Statistik Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.

_____________, 2018, Buku Saku Pasien TB Resisten Obat : Jakarta.

_____________, 2018, Infodatin, Pusat Data Statistik Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.

_____________, 2020, https://www.tbindonesia.or.id/, Diakses tanggal 21 Januari 2020 Pukul : 14.55 WIB

_____________, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis : Jakarta.

_____________, 2015, Rencana Strategi Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019 : Jakarta.

Pasek, Made Suadnyani dkk, 2013. Hubungan persepsi dan tingkat pengetahuan penderita Tuberculosis dengan kepatuhan pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Buleleng 1, Jurnal Magister Kedokteran, UNS : http://jurnal.pasca.uns.ac.id

Sugiyono,  2017. Global Tuberkulosis Report 2017 : Jenewa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 + 5 =

scroll to top
Bahasa »