PSBB, Tapi Kok Kasus Bertambah ?

IMG-20200601-WA0039.jpg

Funco Tanipu, Penulis adalah Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo.

PSBB, Tapi Kok Kasus Bertambah ?

Kota Gorontalo, Dinkesprov – Banyak yang mempertanyakan kenapa PSBB sudah dua kali perpanjangan tapi kok kasus terus bertambah? Lalu kenapa harus ada tahap ketiga?

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dimaklumi ketika banyak orang mulai capek terhadap pandemi yang dianggap tidak ada tanda-tanda akan selesai.

Pertanyaan ini bisa dijawab sederhana. Apa PSBB menjamin kasus bisa 0 (nol)? Tidak, karena Lockdown saja tdk menjamin kasus bisa nol. Lihat Italia, Cina dan banyak negara yang menerapkan lockdown sebagai pilihan. Mereka mengambil kebijakan Lockdown namun kasus terus bertambah.

Istilah PSBB, Lockdown, dan Karantina hingga New Normal adalah model intervensi. Intervensi yang dimaksud adalah bagaimana menunda pandemi sehingga agar terkendali dan bahkan jika semua stakeholder termasuk masyarakat patuh maka kurva pandemi akan landai dan menurun.

Kenapa pilihan-pilihan itu diambil oleh negara-negara? Sebab sebelum ada obat dan vaksin tersedia di pasaran, maka pandemi masih terus berlangsung. Pilihan model intervensi itu adalah masa transisi hingga tersedianya obat dan vaksin.

Semua negara, termasuk Indonesia dan khususnya Gorontalo telah melakukan pemodelan terkait proyeksi jumlah kasus yang akan terjadi. Disebut proyeksi karena meramalkan dan memperkirakan berapa jumlah kasus di daerah dan negara tersebut dalam beberapa waktu kedepan hingga saat obat dan vaksin hadir di pasaran. Pemodelan ini penting sebagai justifikasi atas kebijakan yang akan diambil dalam menghambat penyebaran dan menunda agar jangan sampai tidak terkendali.

Sebelumnya semua negara di dunia melalukan pemodelan untuk proyeksi kasus. Di Gorontalo, Covid-19 Crisis Center UNG melakukan pemodelan pada Maret, true case (kemungkinan angka positif) berada pada kisaran 6000 an kasus. Angka ini angka pemodelan dengan model intervensi. Jika tidak dilakukan intervensi maka bisa mencapai diatas 30 ribu (true case). Apa itu true case? True case adalah angka sebenarnya yang diperkirakan dari hasil pemodelan. Angka 6000 dan 30 ribu itu angka ramalan.

Lho kok beda dengan angka yang dilaporkan hampir setiap sore oleh Gugus Tugas Provinsi, jelas beda karena yang diumumkan itu disebut officially case, atau kasus yang dilaporkan berdasarkan tracing dari kasus sebelumnya dan telah melalui swab test. Misalnya per 30 Mei 2020 berada di angka 94 kasus.

Karena itu, PSBB adalah cara untuk menghambat penularan, sebab PSBB itu adalah instrumen yang tersedia dan legal untuk diterapkan sebagai kebijakan intervensi dalam penanganan. Intervensi untuk menghambat dan menunda, bukan menolkan kasus.

Makanya kalau membaca hasil evaluasi, jika sebelum PSBB Tahap I R0 2.74, dengan PSBB Tahap 1 menjadi 2.58. Artinya satu orang bisa menjangkiti 3 orang. Apa itu R0? R0 adalah angka reproduksi atau potensi penularan dari Covid-19. Angka R0 naik akibat banyak faktor, seperti perilaku masyarakat yang abai dalam memakai masker hingga jaga jarak. Pada Covid-19, semakin tinggi angkanya maka akan semakin menular, dan sebaliknya. R0 itu akhirnya adalah perhitungan matematik yang ideal tapi terkendali. Disebut terkendali jika R0 semakin mendekati nol.

Pada evaluasi PSBB tahap II, R0 menjadi 1.59, artinya 1 orang bisa menjangkiti 2 orang. Coba kita lihat kasus di Jakarta yang dianggap ideal dalam melaksanakan PSBB. Kenapa ideal? Sebab basis literasi (kesadaran dan pengetahuan) terkait Covid-19 lebih baik diatas rata-rata nasional. Semakin masyarakat sadar, maka semakin patuh pada protokol. Semakin patuh masyarakat pada protokol, semakin menurun angka R0 hingga bagaimana kurva pandemi bisa landai atau bahkan menurun.

Namun begitu, Jakarta yang sekarang saja R0 mendekati angka 1, tetapi jumlah kasus harian masih ada dan bahkan ratusan per hari. Artinya, PSBB itu bukan menolkan tapi menghambat. Kenapa dihambat? Agar penularan bisa dikendalikan hingga masa vaksin dan obat ada di pasaran.

Pertanyaan berikut? Bagaimana bisa membuat R0 dibawah 1 (< 1). Caranya adalah tracking kasus yang maksimal, semua yang memiliki riwayat kontak dengan pasien positif, maupun dengan yang berkontak dengan pasien positif hingga 3 – 4 lapis ditelusuri, didata dan diberi pemahaman agar mau dan sukarela untuk di tes swab. Bagi yang positif maka harus diisolasi agar tidak menjangkiti lagi yang lain. Jadi kuncinya adalah tracking, tes, dan isolasi. Bagi masyarakat diluar yang berkontak tersebut bagaimana? Masyarakat harus patuh pada protokol, kunci pada protokol adalah jaga jarak, jika jarak terjaga maka otomatis tidak ada kontak dan kerumunan. Berikutnya adalah menggunakan masker selama berada di ruang publik hingga mencuci tangan sesering mungkin. Bagi kita di Gorontalo, protokol physical distancing dan penggunaan masker ini kurang efektif dilakukan, sebab kultur Ngala’a (kekerabatan) bertolak belakang dengan apa yang diarahkan dalam protokol. Dalam sistem kekerabatan Gorontalo, interaksi itu bisa dibagi pada dua hal ; interaksi personal yakni teteyapuwa (membelai), titiliya (berdekatan), tata’apa (saling menepuk, biasanya pundak atau tangan dengan lembut), kukubinga (saling mencubit dengan lembut), tetepawa (saling menendang, tapi dalam konteks bermain), titi’uwa (saling siku dalam konteks kekerabatan), tetedu’a (saling menendang) dan banyak ragam interaksi sosial personal lainnya.Dalam interaksi sosial komunitas, ada depita (saling antar makanan), bilohe (saling mengunjungi), dudula (saling mendekat), huyula (kerjasama gotong royong), tayade (saling berbagi) dan banyak interaksi lainnya. Dua model interaksi ala Gorontalo ini mensyaratkan adanya kontak fisik dan kontak sosial. Inilah yang tidak sesuai dengan prinsip protokol Covid-19.Jika dilihat dari gambaran epidemiologi, cluster lokal yang besar itu terjadi di tiga wilayah yakni Tumbihe, Padebuolo dan Bu’a. Tiga daerah itu adalah kambungu dalam konteks Gorontalo. Bukan saja sebagai ruang administratif, tapi sebagai ruang sosio-kultural. Tiga kambungu ini adalah snapshoot penyebaran pandemi di Gorontalo Kalau kita membaca penyebaran di tiga kambungu ini, memang terlihat jika Ngala’a nya sangat kuat. Antar rumah dalam radius kilometer masih saling kenal, interaksi tinggi dan dalam kepadatan yang tinggi.Berbeda dengan kasus-kasus yang terjadi di ruang administratif seperti Tomolobutao, Libuo, Dulalowo dan di beberapa perumahan yang kontaknya putus. Di ruang-ruang ini tidak bisa disebut sebagai kambungu karena interaksi sosialnya rendah. Padat tapi tidak ada kontak sosial apalagi kontak fisik. Makanya, pendekatan dalam penanganan pandemi mesti diubah, sebab virus bergerak mengikuti kultur masyarakat. Pada ruang-ruang kultural seperti kambungu, dengan pemahaman dan kesadaran warga yang terbatas, yang perlu diperkuat itu adalah meningkatkan literasi masyarakat agar bisa meningkatkan kesadarannya terhadap bahayanya Covid-19.

Penanganan berbasis Ngala’a ini penting sebagai model intervensi yang bersifat konvensional, menyesuaikan dengan keseharian masyarakat. Basis Ngala’a ini menjadi penting untuk di ekstrak sebagai model mitigasi lokal, sebab penyebaran Covid-19 berbeda dengan negara dan daerah lain.Ngala’a yang terstruktur selama ratusan tahun ini berdiri diatas prinsip Islam sebagai agama mayoritas di Gorontalo. Jadi pendekatan Ngala’a yang Islami adalah prinsip dan pendekatan. Model mitigasi ini bisa diimplementasikan di Gorontalo dalam skema seperti PSBB maupun New Norma (Kenormalan Baru). Dua-duanya adalah kerangka hukumnya, namun prinsipnya adalah pendekatan berbasis Ngala’a. Kira kira begitu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lahir di masyarakat terkait dengan “Ada PSBB, Kok Kasus Bertambah” . Semoga tulisan pendek ini bisa menjernihkan persoalan terkait PSBB dan mengapa harus PSBB, serta bagaima sebenarnya membaca penyebaran Covid-19 di Gorontalo.

Sumber : funco.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four + 19 =

scroll to top
Bahasa »