Kantin Dan Sekolah Pendukung Terbaik Masalah Gizi Dan Kesehatan?

WhatsApp-Image-2024-02-11-at-21.02.12.jpeg

Arifasno Napu, Pengamat Gizi dan Kesehatan. Mengajar Ilmu Gizi dan Kesehatan, Kebijakan Kesehatan, Olahraga, Budaya di Perguruan Tinggi, Ketua Pergizi Pangan Indonesia Gorontalo, Wakil Ketua Kwarda Gorontalo, Pembina DPD PERSAGI Gorontalo, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI) Provinsi Gorontalo, Dosen Poltekkes Kemenkes Gorontalo.

“Salam Gizi”, (jawabannya) “Sehat Melalui Makanan”.

Dalam Alqur’an Surat (QS) Al-Ma’idah Ayat 2 yang artinya: …”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. Sesungguhnya inilah teori dasar penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan orang lain sebagai upaya tolong menolong untuk kebaikan bukan untuk berbuat kemungkaran yang menyebabkan kerugian ataupun kehancuran dan membuahkan dosa. Kegiatan dimaksud dalam bentuk apapun misalnya jasa, usaha, pendidikan dan perdagangan termasuk penyelenggaraan kantin sekolah.

Diskursus tentang kantin sekolah sudah cukup banyak, namun alangkah bijaknya bila didasari oleh teori religi seperti dalam QS Al-Baqarah ayat 168 yang artinya “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”. Jadi sesungguhnya syarat makanan untuk dikonsumsi itu ada dua yakni halal (muslim) dan baik. Yang dimaksud baik itu mencakup alami, beragam, bergizi, berimbang, aman dan menyehatkan. Makanan yang demikian penting disediakan di sekolah dan kantin sebagai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.

Anak berada di sekolah selama 8 jam dan bila ada tambahan pembelajaran bisa lebih 2-3 jam. Berarti mereka berada di sekolah sekitar 10-11 jam. Olehnya, mereka pasti tidak lepas dari ruang lingkup kantin sekolah yang merupakan tempat satu-satunya untuk belanja makanan. Namun selain kantin sekolah juga di luarnya yang hanya berbatasan dengan pagar sekolah, banyak penjajah makanan yang tidak sesuai dengan syarat makanan, namun menjadi favorit para siswa?.

Bagaimana kesetersediaan makanan dan minuman di kantin-kantin sekolah? Misalnya saja nasi kuning, yang ternyata ditemukan penggunaan bahan dan proses pembuatannya tidak sesuai lagi dan bahkan bisa merugikan kesehatan. Demikian pula snack-snack yang menggunakan penambah rasa, warna, aroma, tekstur dan pengawet, tidak sesuai lagi dengan syarat baik hidangan makanan, termasuk penggunaan gula, garam dan minyak yang berlebihan. Tidak lepas pula minuman-minuman yang mengandung banyak gula, soda, pewarna, penambah aroma, penambah rasa dan bahan sintetik lainnya yang dapat merugikan kesehatan.

Ketersediaan makanan dan minuman di kantin sekolah tidak sedikit yang menjadi  pendukung terbaik masalah gizi dan kesehatan, karena penggunaan bahan, proses pembuatan, maupun kebersihan pengelola dan tempatnya. Berbagai penyakit yang diderita oleh siswa seperti typoid, hepatitis, diare, hipertensi, peningkatan kolesterol, peningkatan gula darah, obesita, dll. Demikian pula masalah status gizi apakah kekurangan gizi atau bahkan kelebihan gizi. Berikut ini contoh masalah gizi di salah satu Provinsi di Indonesia yang kejadiannya tidak luput dari peran sekolah dan kantin, lihat Tabel-tabel berikut  ini!

Menyimak Tabel 1, maka sangat jelas adanya celah-celah potensial dan kritis  bahwa sekolah bisa sebagai pendukung terjadinya masalah pendek atau yang lebih sering dikatakan stunting.  Pendek yang terjadi pada balita sebanyak 32,5% ternyata dibarengi juga dengan status gizi pendek pada usia 5-12 tahun sebesar 25,65%. Begitu pula usia 13-15 tahun malah 30.1%. Sangat disayangkan ketika umur 16-18 tahun ternyata lebih banyak lagi yang pendek yakni 39,54%. Data ini menunjukkan bahwa apakah balita yang dinyatakan tidak stunting hanya karena telah keluar dari zona umur balita (umur ≥60 bulan) sehingga tidak terkaver dalam hitungan prevalensinya?  Apakah celah-selah potensial dan kritis pada usia sekolah diberikan intervensi yang memadai untuk mencegah masalah gizi dan kesehatan?

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada semua lapisan masyarakat yang kegemukan atau obesitas menjadi momok penting yang harus dikaji dan dibahas serta diintervensi agar lahir upaya-upaya yang berkualitas. Bukankah kegemukan ini menjadi faktor pencetus berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal, bisa stroke, dll. Sayang sekali ya, disaat usia balita bahwa yang gemuk hanya 3,91% namun terjadi tingginya kegemukan itu pada usia sekolah. Usia 5-12 tahun ada 13.77%, sampai pada usia 16-18 tahun ada 12,37%. Usia selanjutnya yakni >18 tahun malah lebih tinggi yakni 39,12%.

Tabel 3 menunjukkan betapa tingginya proporsi cuci darah di Indonesia termasuk di Gorontalo yakni 21,11% lebih tinggi dari angka nasional 19,33% dan tertinggi di wilayah Sulawesi. Hasil Riskesdas 2018 ini menunjukkan malah Jakarta adalah paling tinggi yakni 38,71% dan disusul oleh Bali dan Yogyakarta yang masing-masing angkanya adalah 37,04% dan 35,51%.

Tabel 3.
Proporsi cuci darah atau Hemodialisis pada Penduduk Umur ≥15 Tahun dengan Gagal Ginjal Kronis berdasarkan Diagnosis Dokter menurut Provinsi, Riskesdas 2018

Belum lama ini penulis bertemu dengan seorang anak didik (sebut saja Wawan namanya) di sebuah rumah sakit di Gorontalo. Wawan berumur baru 25 tahun dan menyatakan bahwa dia ke rumah sakit untuk cuci darah (hemodialisis). Penulis merasa kaget dengan pertemuan ini karena Wawan terlihat sehat walafiat namun ternyata harus  cuci darah 2 kali setiap pekan. Sempat penulis tanyakan, mengapa bisa terkena penyakit gagal ginjal kronis sampai harus cuci darah? Wawan menjawab, memang saat masih sekolah dari SD, SMP, SMA wawan banyak mengkonsumsi makanan dan minuman termasuk snack-snack sintetik. Makanan dan minuman ini terasa enak, segar, dan membuat ketagihan mengkonsumsinya, tetapi tidak diketahuinya bahwa berbahaya untuk kesehatan terutama ginjal.

Selanjutnya penulis menemui tenaga yang bertanggung jawab di bagian cuci darah dan meminta penjelasan. Dikatakannya bahwa hasil anamnesis sangat dominan terkait dengan konsumsi makanan para pasien yang ternyata mendukung terjadinya masalah penyakit gagal ginjal. Ini meliputi makanan dan minuman yang dikonsumsi, banyak merupakan pabrikan, snack-snack pabrikan, yang diawetkan, yang olahan rumah tangga tetapi menggunakan bahan-bahan sintetik dan tidak sesuai anjuran, dll.

Adanya relevansi penjelasan oleh penderita dan tenaga kesehatan serta dukungan berbagai penelitian maka merupakan bukti pentingnya pembelajaran dan pengaturan makanan dalam siklus hidup guna mencegah masalah gizi dan kesehatan.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka mengapa Indonesia begitu kaya dengan bahan makanan alami dan beragam malah menjadi negara yang banyak masalah gizi dan kesehatan? Dalam menganalisisnya tersering hanya didominasi oleh kekuatan politik, tetapi ketangguhan kebenaran yang rasional dan ilmiah menjadi bukan prioritas? Hal ini terimplikasi pada tabel 1, dan Tabel 2 sebelumnya, bahwa anak berada di sekolah sejak umur 5 tahun (PAUD) sampai 18 tahun (SMA/MA/SMK). Berarti selama ±13 tahun tentunya harus disuguhi dengan berbagai pelajaran untuk meningkatkan pengetahuannya guna bersikap dan mempraktikkan ilmu pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Selain itu disuguhi pula dengan ketersediaan makanan yang halal (muslim) dan baik di kantin sekolah.

Sangat disayangkan bahwa anak diberikan pemahaman tentang makanan dan minuman yang halal (muslim) dan baik belum terlaksana secara paripurna, berjenjang, masif dan berkesinambungan. Akibatnya, pada usia sekolah terjadi peningkatkan masalah gizi dan kesehatan (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) yang tentunya akan berlanjut terus sampai dewasa, saat menikah, hamil, dan dilahirkan anak yang bisa saja bermasalah gizi dan kesehatan. Hari ini fokus perhatian pemerintah hanya pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yang tentunya baru hanya sampai 2 tahun umur manusia yang belum dapat menjamin kesinambungan keadaan gizi dan kesehatan pada umur selanjutnya atau di masa depannya.

Kantin dan sekolah tidak lain merupakan wadah yang strategis untuk melaksanakan tujuan negara, sehingga selama ±13 tahun negara berkewajiban hadir full pada wadah tersebut. Tidak lain tujuan kehadiran negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukti kehadiran negara itu dapat dilihat dari apakah sudah terjadi pembelajaran tentang gizi/makanan dan kesehatan di sekolah? Apakah sudah terbenahi kantin-kantin sekolah yang sangat strategis untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan generasi bangsa terutama menyongsong bonus demografi dan Indonesia Emas 2045?

            Sekarang ini, apakah dapat dikatakan bahwa kantin dan sekolah hanya merupakan pendukung terbaik terjadinya masalah gizi dan kesehatan di Indonesia, sehingga Indonesia pada hari ini dan kedepannya dapat sebagai negara untuk berbagai kepentingan dalam konteks keterbelakangan?  Inilah saatnya untuk diciptakan “Sekolah Sadar Gizi” yang merupakan sekolah yang membelajarkan para siswanya tentang gizi dan kesehatan berdasarkan regulasi, kurikulum dan bahan ajar serta tersedianya makanan yang halal (muslim) dan baik di kantin sekolah, (Arifasno Napu, 2024. https://dinkes.gorontaloprov.go.id/sekolah-sadar-gizi-berbasis-makanan-tradisional/).

Semoga kita tergolong kaum yang bersahaja dalam tolong menolong untuk kebaikan yang didasari kebenaran rasional dan ilmiah? Bersama berkarya sebagai ibadah, Aamiin.

Sosial Media Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo :
Channel Youtube
Facebook Page
Facebook
Twitter
Instagram

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 − 5 =

scroll to top
Bahasa »